KONSTRUKTIVISME

2.1    PENGERTIAN KONSTRUKTIVISME

Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri.[1] Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.[2] Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupakan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktifan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.

Pendekatan konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah pendidikan dari dominasi guru menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi pengalaman, pengetahuan, dan pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari pembentukan pengertian baru ini.

Menurut para ahli dalam konstruktivisme proses belajar, para siswa di dorong untuk menggali dan menemukan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan gagasan. Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang luas untuk membangun pengetahuan mereka.[3]

 

2.2  TOKOH-TOKOH DALAM KONSTRUKTIVISME

2.2.1     Jean Piaget

Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme.[4] Sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut untuk mengembangkan kemampuan intelektual.

Peaget mengemukakan bahwa ada empat tahap perkembangan intelektual manusia yaitu tahap sensori motor, tahap praoperasi, tahap operasi konkrit, dan tahap operasi formal.[5] Teori kognitif Piaget digunakan sebagai patokan untuk pengembangan intelektual manusia.

 

Empat tahapan  teori perkembangan intelektual piaget:

  1. Tahap sensori motor (0-2 tahun)

Pada tahap ini seorang anak belum bisa mengatakan sesuatu atau hanya bergerak spontan secara jasmani dengan perbuatan mental. Tetapi pada tahap seorang sudak mulai mengerti matematika. Karena seorang anak sudk dapat belajar mengartikan symbol-simbol benda dengan benda kongkrit.

  1. Tahap Praoperasi (2 – 7 tahun)

Tahap ini merupakan tahap persiapan untuk mengorganisasi operasi konkret. Seorang anak hanya berfikir berdasarkan pengalaman kongkret daripada logis. Dan pada tahap ini seorang anak sudah dapat mendentifikai.

  1. Tahap operasi konkret (7- 12 tahun)

Pada tahap ini seorang anak sudah dapat berfikir lebih jauh untuk mengkongkritkan sebuah yang abtrak.[6] Seperti, dari matematika khayalan bisa di kongkritkan dari bendanya atau modelnya. Anak sudakh dapat menyelesaikan soal-soal, seperti 2 +        = 8

  1. Operasi formal (12 tahun – dewasa)

Tahap ini anak sudah menggunakan logika. Anak telah mampu memandang sesuatu dari banyak segi secara simultan, dan mampu menilai tindakannya secara obyektif dan ia dapat menelusuri kembali proses berfikirnya sehingga anak tersebut dapat menggeneralisasikan sesuatu.

2.2.2     Vygotsky

Teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing – masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas – tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.

Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu:

  1. Menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi – strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing – masing zone of proximal development mereka;
  2. Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep – konsep dan pemecahan masalah.

 

2.2.3     Ausubel

Menurut Ausubel, ada dua macam proses belajar yakni belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna berarti informasi baru diasimilasikan dalam struktur pengertian lamanya. Belajar menghafal hanya perlu bila pembelajar mendapatkan fenomena atau informasi yang sama sekali baru dan belum ada hubungannya dalam struktur pengertian lamanya. Dengan cara demikian, pengetahuan pembelajar selalu diperbarui dan dikonstruksikan terus-menerus. Jelaslah bahwa teori belajar bermakna Ausubel bersifat konstruktif karena menekankan proses asimilasi dan asosiasi fenomena, pengalaman, dan fakta baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa sebelumnya.

 

2.3  PENERAPAN  KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Sebenarnya prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah :

  1. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif, pelajar bukan penerima pasif pengetahuan.
  2. Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
  3. Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
  4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
  5. Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
  6. Guru adalah fasilitator yang menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan lancar.

 

Berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka munculah salah pengertian atau konsep alternative. Dalam hal seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan dan mengatasinya.

Dalam pandangan konstruktivisme proses belajar dan pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Siswa terlibat secara aktif dalam belajar
  2. Siswa belajar materi pembelajaran secara memdalam
  3. Siswa belajar dengan lebih efektif
  4. Informasi baru dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu dengan skema yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap materi lebih kompleks terjadi.
  5. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan.
  6. Pembelajaran berorientasi pada pemecahan masalah.

Pembelajaran konstruktivis harus bermakna bagi kongnitif siswa dan guru perlu menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif.

Contoh pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivisme, misalnya mengukur volume limas segiempat :

  1. Guru membagi kelompok-kelompok kecil dari beberapa siswa.
  2. Guru menyuruh para siswa untuk membuat bangun balok dan limas segiempat  yang memiliki panjang, lebar dan tinggi yang sama dari kertas karton serta membawa beras.
  3. Guru memerintahkan untuk memindahkan beras dari limas segiempat kedalam balok.
  4. Kemudian guru menyuruh mempresentasikan hasil percobaan di depan kelas.

 

2.4  PENGARUH  KONSTRUKTIVISME TEHADAP PROSES MENGAJAR

Mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada pendidik yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut : [7]

1)   Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinkan pesera didik ikut bertanggungjawab dalam membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas utama seorang pendidik.

2)       Pendidik menyediakan pertanyaan-pertanyaan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari, membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir peserta didik secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung belajar peserta didik. Pendidik hendaknya menyemangati peserta didik dan bukannya sebaliknya.

3)   Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Pendidik membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik. Tugas pendidik adalah membantu agar peserta didik lebih dapat mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret, maka strategi mengajar perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik.


[1] Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktuvisme Dalam Pendidikan.(Yogyakarta: Kanisius),  hal. 18

[3] Muhammad Asrori. Pskologi Pembelajaran .(Bandung : Wacana Prima : 2007), hal. 28

[4] Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktuvisme Dalam Pendidikan.(Yogyakarta: Kanisius),  hal. 13

[5] Ismail,dkk. 2006. Kapasita Selekta Pembelajaran Matematika. (Jakarta: Universitas Terbuka, 3.3)

[6] Ismail,dkk. 2006. Kapasita Selekta Pembelajaran Matematika. (Jakarta: Universitas Terbuka, 3.6)

[7] Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktuvisme Dalam Pendidikan.(Yogyakarta: Kanisius),  hal. 65-66

CTL

  1. A.    Definisi CTL

            Contextual Teaching and Learning adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.[1]

Dalam bahasa penulis, Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu proses pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan cara mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan (keterampilan) yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan (konteks) ke permasalahan (konteks) lainnya.

Dengan konsep tersebut, diharapkan hasil dari pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa, bukan hanya monoton transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam hal ini guru lebih mengutamakan srategi pembelajaran daripada hasil pembelajaran. Sehingga, siswa akan dapat menemukan suatu hal yang baru dari upayanya sendiri, bukan dari guru.

 

  1. B.     Konsep Dasar CTL

Terdapat tiga konsep dasar yang perlu diketahui dalam CTL[2]. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa dalam menemukan materi, artinya proses belajar dalam CTL tidak mengharapkan siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi juga proses mencari dan menemukan materi pelajaran.

Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk menghubungkan pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Dengan begitu, materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak mudah untuk dilupakan.

Ketiga, CTL medorong siswa agar dapat menerapkan materi yang telah ditemukannya dalam kehidupan nyata, artinya konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.

 

  1. C.    Latar Belakang CTL
    1. Latar Belakang Filosofis

CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin, yang selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran epistemology Giambatista Vico (Suparno, 1997) yang mengatakan bahwa: “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaannya”. Menurut Vico, mengerti berarti memahami cara bagaimana membuat sesuatu. Artinya, seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Oleh karena itu, pengetahuan tidak terlepas dari orang (subjek) yang mengetahui. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari subjek yang mengamati. Selanjutnya, filsafat konstruktivisme juga berpandangan bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil pemberian orang lain seperti guru, tetapi hasil konstruksi yang dilakukan setiap individu.

Piaget berpendapat bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema. Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, berkat pengalamannya seorang anak memiliki skema tentang burung merpati sebagai binatang yang bersayap dan bisa terbang. Sehingga, ia akan mengatakan setiap binatang yang memiliki sayap adalah burung, dan setiap burung pasti dapat terbang. Selanjutnya, proses asimilasi terbentuk, ketika ia melihat burung-burung yang lain yang sama-sama bisa terbang misalnya burung yang lebih kecil dari burung merpati yaitu burung pipit dan burung yang lebih besar seperti burung elang. Dengan demikian, ia akan menyempurnakan skema tentang burung yang telah dibentuknya, bahwa burung itu ada yang besar , dan ada yang kecil. Kemudian, proses akomodasi akan terbentuk, misalnya ketika anak tersebut melihat seekor ayam. Ayam memiliki sayap seperti burung, akan tetapi ayam tidak dapat terbang. Sehingga ia akan membuat skema baru bahwa tidak semua binatang bersayap itu dapat terbang. Demikianlah, selama hidupnya seseorang akan memperbaiki dan menyempurnakan skema-skema yang telah terbentuk.

Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema, sedangkan akomodasi adalah proses mengubah skema yang sudah ada hingga terbentuk skema baru yang benar dan sesuai. Sebelum anak mampu meyusun skema baru, ia akan dihadapkan pada posisi ketidakseimbangan (dis-equilibrium), yang akan mengganggu psikologis anak. Akan tetapi, jika skema telah sempurna, anak akan kembali pada posisi seimbang (equilibrium), untuk kemudian ia akan dihadapkan pada perolehan pengalaman baru lainnya.[3]

 

  1. Latar Belakang Psikologis

Berdasarkan sudut pandang psikologis, CTL berpijak pada psikologi kognitif. Menurut aliran ini, proses belajar terjadi karena adanya pemahaman individu akan lingkungannya. Belajar bukan hanya peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respon. Akan tetapi, belajar merupakan suatu proses yang melibatkan mental tidak tampak, seperti emosi, minat, motivasi, dan kemampuan atau pengalaman.

Berdasarkan asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka ada beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar dalam konteks CTL, yaitu :

  1. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki.
  2. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan fakta yang tidak berkaitan dengan kehidupan
  3. Belajar merupakan proses pemecahan masalah
  4. Belajar merupakan proses pengalaman yang berkembang secara bertahap dari hal sederhana menuju hal yang lebih kompleks
  5. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan
  6. D.    Karakteristik CTL

Terdapat lima karakter penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL, diantaranya yakni :

  1. Pembelajaran merupakan pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowladge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang telah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
  2. Pembelajaran yang kontesktual merupakan pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan baru (acquiring knowladge) dengan cara deduktif.
  3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowladge), artinya pengetahuan yang diperoleh tidak untuk dihafal, tetapi untuk dipahami dan dikembangkan.
  4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman (applying knowladge), artinya pengetahuan yang diperoleh harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa.
  5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan, agar terjadi umpan balik dan proses perbaikan dalam penyempurnaan strategi.

 

  1. E.     Perbedaan CTL dengan Pembelajaran Konvensional

Dalam konteks tertentu, terdapat perbedaan antara pembelajaran model CTL dan pembelajaran model Konvensional, diantaranya :

  1. CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran Konvensional, siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.
  2. Dalam CTL siswa belajar melalui kelompok, seperti kerja kelompok, dan berdiskusi. Sedangkan dalam pembelajaran Konvensional siswa lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mencatat dan menghafal materi pelajaran.
  3. Dalam CTL, pembelajaran dikaitkan dengan hubungan nyata secara riil. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak.
  4. Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman. Sedangkan dalam pembelajaran Konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan.
  5. Dalam CTL tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional, tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya.
  6. Dalam CTL, pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya. Dalam pembelajaran konvensional hal ini mungkin terjadi tapi kecil sekali, karena kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.
  7. Dalam pembelajaran CTL, pembelajaran bisa terjadi dimana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan, sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas.
  8. Oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagi cara, misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, dll. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional, keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dari tes.

 

  1. F.     Keterkaitan Peran Guru dan Siswa dalam CTL

Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadapnya dengan gaya belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional, hal ini sering terlupakan sehingga proses pembelajaran tak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak yang menurut Paulo Freire sebagai sistem penindasan.

Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa keterkaitan peran guru dan siswa dalam CTL, diantaranya yakni :

  1. Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangan.
  2. Setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan penuh tantangan. Kegemaran anak adalah mencoba hal-hal yang dianggap aneh dan baru. Dengan demikian guru berperan dalam memilih bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk dipelajari oleh siswa.
  3. Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan hubungan antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian peran guru adalah membantu agar setiap siswa mampu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.
  4. Belajar bagi anak adalah proses menyempurnakan skema yang telah ada (asimilasi) atau proses pembentukan skema baru (akomodasi). Dengan demikian, tugas guru adalah memfasilitasi (mempermudah) siswa agar mampu melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.

 

  1. G.    Asas-asas CTL

CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL.asas-asas tersebut adalah:[4]

  1. Kontruktivisme (Contructivism)

Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal atau mengingat pengetahuan, akan tetapi belajar merupakan suatu proses dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, dengan dilandasi oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya.

 

  1. 2.    Menemukan (Inquiri)

Inquiri merupakan proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan sendiri materi pembelajaran melalui proses berfikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan dengan beberapa langkah,yaitu:

  1. Merumuskan masalah
  2. Mengajukan hepotesis
  3. Mengumpulkan data
  4. Menguji hepotesis berdasarkan data yang ditemukan
  5. Membuat kesimpulan

 

Penerapan proses inquiri dalam proses pembelajaran CTL dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Sehingga siswa didorong untuk menemukan masalah. Melalui proses belajar yang sistematis, diharapkan siswa memiliki sifat belajar ilmiah, rasional, dan logis, yang kesemuanya diharapkan sebagai dasar pembentukan kreatifitas.

 

  1. Bertanya (questioning)

Belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan jawaban pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak hanya menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Oleh karena itu, peran bertanya sangat penting. Sebab dengan pertanyaan-pertanyaan, guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajari.

Dalam suatu pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya sangat berguna untuk:

  1. Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam peguasaan materi pelajaran.
  2. Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar
  3. Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu yang di inginkan.
  4. Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan.
  5. Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.

 

Dalam setiap tahapan dan proses pembelajaran kegiatan, bertanya hampir selalu digunakan. Oleh karena itu, kemampuan guru untuk mengembangkan teknik-teknik dalam bertanya sangat diperlukan.

 

  1. Masyarakat belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dengan lingkungan yang terjadi secara alamiah. Dalam kelas CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar .

 

 

  1. Pemodelan (modeling)

Pemodelan pada dasarnya adalah membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan.. Proses modeling tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga memanfaatkan siswa yang dianggap mempunyai kemampuan.

 

  1. Refleksi (reflection)

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari, dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bila terjadi melalui proses refleksi, siswa akan memperbarui pengetahuan yang etlah dibentuknya atau menambah pengetahuannya.

Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, pada setiap akhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk merenung atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya pada hari itu.

  1. Penilaian Nyata (Authentic Assessment)

Proses pembelajaran konvensional yang sering dilakukan guru pada saat ini, biasanya ditekankan kepada perkembangan aspek intelektual, sehingga alat evaluasi yang digunakan terbatas pada penggunaan tes. Dengan tes dapat diketahui seberapa jauh siswa telah menguasai materi pelajaran. Dalam kontekstual teaching leaning, keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi juga terhadap keberhasilan prosesnya. Oleh sebab itu, penilaian keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh aspek hasil belajar seperti hasil tes, akan tetapi juga proses belajar melalui penilaian nyata.

Penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak, apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.

BAB III

PENUTUP

 

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada Bab II, dapat disimpulkan:

  1. Pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan suatu proses pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan cara mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan (keterampilan) yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan (konteks) ke permasalahan (konteks) lainnya.
  2. Konsep dasar dalam strategi pembelajaran CTL adalah menekankan keterlibatan siswa dalam menemukan materi yang dipelajari, menemukan hubungan materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata, dan menekankan agar siswa dapat menerapkan materi yang telah didapat dalam kehidupan.
  3. Latar belakang munculnya CTL berawal dari filsafat kontruktivisme yang mengatakan bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi proses mengonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah pemberian dari orang lain, akan tetapi hasil konstruksi yang dilakukan oleh setiap individu. Selain itu, kemunculan CTL juga dilatarbelakangi oleh aliran psikologis kognitif yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses yang melibatkan mental tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi, kemampuan dan pengalaman.
  4. Karakteristik dari pembelajaran CTL, yakni activing knowledge, acquiring knowledge, understanding knowledge, appliying knowledge, dan reflecting knowledge.
  5. Perbedaan pembelajaran CTL dengan pembelajaran konvensional yakni :

No

CTL

Konvensional

1

Siswa merupakan subyek belajar Siswa merupakan objek belajar

2

Siswa belajar melalui kegiatan berkelompok Siswa lebih banyak belajar individual

3

Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata Pembelajaran bersifat teoritis

4

Kemampuan didasarkan pengalaman Kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan

5

Tujuan akhir adalah kepuasan diri Tujuan akhir adalah nilai

6

Tindakan dibangun atas kesadaran diri sendiri Tindakan dibangun atas factor eksternal

7

Pengetahuan senantiasa berkembang sesuai dengan pengalaman pembelajaran Pengetahuan bersifat absolut dan final

8

Siswa bertanggungjawab mengembangkan pengetahuannya masing-masing Guru sebagai penentu jalannya proses pembelajaran

9

Pembelajaran dapat terjadi dimana saja Pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas

10

Keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara Keberhasilan pembelajaran hanya diukur dari tes

 

  1. Adapun keterkaitan peran guru dan siswa, yakni :

No

Siswa

Guru

1

Siswa merupakan individu yang berkembang Guru sebagai pembimbing siswa

2

Siswa cenderung mempelajari hal-hal yang baru Guru memilih bahan-bahan penting untuk dipelajari siswa

3

Bagi siswa, belajar merupakan proses mencari keterkaitan pengetahuan Membantu siswa mencari keterkaitan pengetahuan

4

Bagi siswa, belajar merupakan proses asimilasi dan akomodasi Memfasilitasi anak agar mudah melakukan proses asimilasi dan akomodasi

 

  1. 7.        Asas-asas CTL diantaranya yakni contructivism, inquiry, questioning, learning community, modeling, reflection, dan authentic assessment.


[1] Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. 2006. Kencana : Jakarta. Hal 255

[2] Ibid

[3] Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. 2006. Kencana : Jakarta. Hal 258

[4] Johnson, Elaine B . 2007. Contextual Teaching Learning. Jakarta : MLC. Hal  90

RME

2.1. Matematika Realistik (MR)

Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menemapatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran matematika realistik di kelas berorientasi pada karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika. Dan siswa diberi kesempatan untuk mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari.

Teori pembelajaran matematika realistik pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Freudenthal berpendapat bahwa matematika harus diartikan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Dari pendapat Freudenthal memang benar alangkah baiknya dalam pembelajaran matematika harus ada hubungannya dengan kenyataan dan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Matematika harus dekat dengan anak dan kehidupan sehari-hari. Upaya ini dilihat dari berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas pada realitias tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan.

Adapun menurut pandangan konstruktifis pembelajaran matematika adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Dalam pembelajaran matematika guru memang harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan kemampuan siswa sendiri dan guru terus memantau atau mengarahkan siswa dalam pembelajaran walaupun siswa sendiri yang akan menemukan konsep-konsep matematika, setidaknya guru harus terus mendampingi siswa dalam pembelajaran matematika.

Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada:

  1. Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
  2. Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa.
  3. Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya.
  4. Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.

Pendapat Davis tersebut, dalam pembelajaran matematika siswa mempunyai pengetahuan dalam berpikir melalui proses akomodasi dan siswa juga harus dapat menyelesaikan masalah yang akan dihadapinya. Siswa mengetahui informasi baru dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari secara logis, dalam pembelajaran ini harus bisa memahami dan berpikir sendiri dalam menyelesaikan masalah tersebut, jadi tidak tergantung kepada guru, siswa juga dapat mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah.

Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor, 1993; Atwel, Bleicher dan Cooper, 1998).Adadua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scraffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberi kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Jadi Zone of Proximal Development ini ada siswa yang menyelesaikan masalah secara sendiri, dan ada siswa yang menyelesaikan masalah harus dengan persetujuan orang dewasa. Sedangkan scraffolding mempunyai tahap-tahap pembelajaran, dalam pembelajaran awal siswa dibantu, tapi bantuan itu sedikit demi sedikit dikurangi. Setelah itu siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah sendiri dan mempunyai tanggung jawab yang semakin besar setelah siswa dapat melakukannya. Scraffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.

Prinsip penemuan dapat diinspirasikan oleh prosedur-prosedur pemcahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.Adadua jenis matematisasi diformlasikan  oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horizontal  dan vertikal. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda dan pentransformasian masalah dunia real ke dunia matematika. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyelesaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda dan penggeneralisasian. Kedua jenis ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai yang sama. Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik.

Pendekatan mekanistik adalah pendekatan secara tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dan pengalaman sendiri. Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan dan siswa diharapkan dapat menemukan sendiri melalui matematisasi horizontal, pendekatan strukturalistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya dalam pengajaran penjumlahan secara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal. Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertilal diharapkan siswa dapat menemukan konsep-konsep matematika.

Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio. Siswa berinteraksi dengan guru, dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstrutivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME. Konsep ZPD dan Scraffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran matematika realistik disebut dengan penemuan kembali terbimbing. Menurut Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah. Perbedaan keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio merupakan pendekatan pembelajaran yang bersifat umum, sedangkan pembelajaran matematika realistik merupakan pendekatan khusus yaitu hanya dalam pembelajaran matematika.[1]

 

2. 2. Pengertian Pembelajaran Matematika Realistik

Pembelajaran matematika realistik merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Adapun beberapa pengertian tentang pendekatan realstik yang dikemukakan oleh beberapa akar seerti berikut:

1)      Pengertian pendekatan realistik menurut Sofyan, (2007: 28) “sebuah pendekatan pendidikan yang berusaha menempatkan pendidikan pada hakiki dasar pendidikan itu sendiri”.

2)      Menurut Sudarman Benu, (2000: 405) “pendekatan realistik adalah pendekatan yang menggunakan masalah situasi dunia nyata atau suatu konsep sebagai titik tolak dalam belajar matematika”.

Matematika Realistik yang telah diterapkan dan dikembangkan di Belanda teorinya mengacu pada matematika harus dikaitkan dengan realitas dan matematika merupakan aktifitas manusia.

Dalam pembelajaran melalui pendekatan realistik, strategi-strategi informasi siswa berkembang ketika mereka menyeleseikan masalah pada situasi-situsi biasa yang telah diakrapiniya, dan keadaan itu yang dijadikannya titik awal pembelajaran pendekatan realistik atau Realistic Mathematic Education(RME) juga diberi pengertian “cara mengajar dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelediki dan memahami konsep matematika melalui suatu masalah dalam situasi yang nyata”. (Megawati, 2003: 4). Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran bermakna bagi siswa.

3)      Realistic Mathematic Education(RME) adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak pada hal- hal yang real bagi siswa(Zulkardi). Teori ini menekankan ketrampilan proses, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri(Student Invonting), sebagai kebalikan dari guru memberi(Teaching Telling) dan pada akhirnya murid menggunakan matematika itu untuk menyeleseikan masalah baik secara individual ataupun kelompok. Pada pendekatan Realistik peran guru tidak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator. Sementara murid berfikir, mengkomunikasikan argumennya, mengklasifikasikan jawaban mereka, serta melatih saling menghargai strategi atau pendapat orang lain.

4)      Menurut De Lange dan Van Den Heuvel Parhizen, RME ini adalah pembelajaran yang mengacu pada konstruktifis sosial dan dikhususkan pada pendidikan matematika.(Yuwono: 2001)

 

Dari beberapa pendapat diatas dapat dikatakan bahwa RME atau pendekatan Realistik adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah sehari- hari sebagai sumber inspirasi dalam pembentukan konsep dan mengaplikasikan konsep- konsep tersebut atau bisa dikatakan suatu pembelajaran matematika yang berdasarkan pada hal- hal nyata atau real bagi siswa dan mengacu pada konstruktivis sosial.[2]

1. 3 . Karakteristik, Prinsip dan Tujuan Pembelajaran Matematika Realstik

Karakteristik Pembelajaran Matematika Realstik

Menurut Grafemeijer (dalam fitri, 2007: 13) ada 5 karakteristik pembelajaran matematika realistik, yaitu sebagai berikut:

1. Menggunakan masalah kontekstual

Masalah konsektual berfungsi sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana matematika yang digunakan dapat muncul. Bagaimana masalah matematika itu muncul(yang berhubungan dengan kehidupan sehari- hari).

2. Menggunakan model atau jembatan

Perhatian diarahkan kepada pengembangan model, skema, dan simbolisasi dari pada hanya mentrasfer rumus. Dengan menggunakan media pembelajaran siswa akan lebih faham dan mengerti tentang pembelajaran aritmatika sosial.

3. Menggunakan kontribusi siswa

Kontribusi yang besar pada saat proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi murid sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal ke arah metode yang lebih formal. Dalam kehidupan sehari- hari diharapkan siswa dapat membedakan pengunaan aritmatika sosial terutama pada jual beli. Contohnya: harga baju yang didiskon dengan harga baju yang tidak didiskon.

4. Interaktivitas

Negosiasi secara eksplisit, intervensi, dan evaluasi sesama murid dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi informal siswa digunakan sebagai jembatan untuk menncapai strategi formal. Secara berkelompok siswa diminta untuk membuat pertanyaan kemudian diminta mempresentasikan didepan kelas sedangkan kelompok yang lain menanggapinya. Disini guru bertindak sebagai fasilitator.

5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya(bersifat holistik)

Aritmatika sosial tidak hanya terdapat pada pembelajaran matematika saja, tetapi juga terdapat pada pembelajaran yang lainnya, misalnya pada akutansi, ekonomi, dan kehidupan sehari- hari.

Prinsip- prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Terdapatlimaprinsip utama dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:

  1. Didominasi oleh masalah- masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika.
  2. Perhatian diberikan pada pengembangan model”situasi skema dan simbol”.
  3. Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif.
  4. Interaktif sebagai karakteristik diproses pembelajaran matematika.
  5. Intertwinning (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.

Gravemeijer(dalam Fitri. 2007: 10) menyebutka tiga prinsip kunci dalam pendekatan realistik, ketiga kunci tersebut adalah:

  1. Penemuan kembali secara terbimbing atau matematika secara progresif (Gunded Reinvention atau Progressive matematizing). Dalam menyeleseikan topik- topik matematika, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama, sebagai koknsep- konsep matematika dikemukakan. Siswa diberikan masalah nyata yang memungkinkan adanya penyeleseian yang berbeda.
  2. Didaktif yang bersifat fenomena (didaktial phenomology) topik matematika yang akan diajarkan diupayakan berasal dari fenomenan sehari-hari.
  3. Model yang dikembangkan sendiri (self developed models) dalam memecahkan ‘contextual problem”, mahasiswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri. Pengembangan model ini dapat berperan dalam menjembatani pengetahuan informal dan pengetahuan formal serta konkret dan abstrak.

Tujuan Pembelajaran Matematika Realistik sebagai berikut:

  1. Menjadikan matematika lebih menarik,relevan dan bermakna,tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak.
  2. Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa.
  3. Menekankan belajar matematika “learning by doing”.
  4. Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika tanpa menggunakan penyelesaian yangbaku.
  5. Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika.

(kuiper&kouver,1993)

 

 

 

  1. 2.      4. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik

Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta dengan memperhatikan pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah disusun suatu langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

  • Langkah 1: Memahami masalah kontekstual

yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari kepada siswa dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut,serta memberi kesempatan kepada siswa untuk menanyakan masalah yang belum di pahami. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi

  • Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual

Jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami

  • Langkah 3 : Menyelesaikan masalah

Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model.

 

 

  • Langkah 4 : Membandingkan jawaban

Guru meminta siswa membentuk kelompok secara berpasangan dengan teman sebangkunya, bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah diselesaikan secara individu (negosiasi, membandingkan, dan berdiskusi). Guru mengamati kegiatan yang dilakukan siswa, dan memberi bantuan jika dibutuhkan.

Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan efisiensi waktu. Karena di sekolah tempat pelaksanaan ujicoba, menggunakan bangku panjang. Sehingga kelompok dengan jumlah anggota yang lebih banyak, membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembentukannya. Sedangkan kelompok berpasangan tidak membutuhkan waktu, karena siswa telah duduk dalam tatanan kelompok berpasangan. Setelah diskusi berpasangan dilakukan, guru menunjuk wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing ide penyelesaian dan alasan dari jawabannya, kemudian guru sebagai fasilitator dan modarator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil kesimpulan sampai pada rumusan konsep/prinsip berdasarkan matematika formal (idealisasi, abstraksi). Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi

  • Langkah 5: Menyimpulkan

Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu rumusan konsep/prinsip dari topik yang dipelajari. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah adanya interaksi antar siswa dengan guru.[3]

 

2.5. Implementasi pembelajaran Matematika Realistik

Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran matematika realistik, misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan pecahan kepada siswa sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami pembagian dalam bentuk yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa benar-benar memahami pembagian setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran bukan matematika realistik dimana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.

Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan siswa dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.[4]

 

 

1.6.Kelebihan dan Kelemehan Pembelajaran Metematika Realistik

Beberapa keunggulan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:

  1. Pelajaran menjadi cukup menyenangkan bagi siswa dan suasana tegang tidak tampak.
  2. Materi dapat dipahami oleh sebagian besar siswa.
  3. Alat peraga adalah benda yang berada di sekitar, sehingga mudah didapatkan.
  4. Guru ditantang untuk mempulajari bahan
  5. Guru menjadi aktif unntuk membuat alat peraga
  6. Siswa mempunyai kecerdasan yang cukup tinggi tampak semakin pandai.

Beberapa kelemahan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:

  1. Sulit diterapkan dalam suatu kelas yang besar(40- 45 orang).
  2. Dibutuhkan waktu yang lama untuk memahami materi pelajaran.
  3. Siswa yang mempunyai kecerdasan sedang memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu memahami materi pelajaran.[5]

STAD & JIGSAW

2.1 Pengertian Cooperative Learning

Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja atau belajar kelompok yang terstruktur, dimana memuat lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok

Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuan yang berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran[1].

Menurut Wina (2008:242), pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang  menggunakan sistem pengelompokkan atau tim kecil, yaitu antara 4-5 orang dengan latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda (heterogen).

Johnson (dalam Etin Solihatin, 2005:4) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa bekerja sama.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama (saling membantu) dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dengan latar belakang akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda (heterogen).

.

2.2 Karakteristik Dan Prinsip-Prinsip Cooperative Learning

1. Karakteristik Cooperative Learning

Karakteristik stretegi pembelajaran kooperatif meliputi beberapa hal berikut[2]:

 

  1. a.    Pembelajaran Secara Tim

Pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran secara tim (kelompok). Setiap anggota tim harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai, karena keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh keberhasilan tim.

Setiap anggota tim bersifat heterogen. Hal ini dimaksudkan agar setiap anggota dapat saling berbagi pengalaman serta saling memberi dan menerima, sehingga setiap anggota diharapkan memberikan kontribusi terhadap keberhasilan tim.

 

  1. b.    Didasarkan pada Manajemen Kooperatif

Sebagaimana pada mumnya, manajemen mempunyai empat fungsi pokok, yaitu fungsi perencanaan, fungsi organisasi, fungsi pelaksanaan dan fungsi kontrol. Demikian pula dalam pembelajaran kooperatif, sebagaimana berikut:

  • Fungsi perencanaan: pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang demi tercapainya proses pembelajaran yang efektif.
  • Fungsi organisasi: proses pembelajaran kooperatif merupakan pekerjaan bersama antar anggota tim, sehingga diperlukan pengaturan tugas dan tanggung jawab masing-masing anggota tim.
  • Fungsi pelaksanaan: pembelajaran kooperatif harus dilaksanakan sesuai perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya.
  • Fungsi kontrol: dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan, baik melalui tes maupun non tes.

 

  1. c.    Kemauan untuk Bekerja Sama

Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok. Oleh karena itu prinsip kerja sama perlu ditekankan, sehingga setiap anggota kelompok bukan hanya harus diatur tugas dan tanggung jawabnya masing-masing, tetapi juga ditanamkan perlunya saling membantu.

 

  1. d.    Keterampilan Bekerja Sama

Kemauan untuk bekerja sama kemudian dipraktekkan melalui aktivitas dan kegiatan yang tergambar dalam keterampilan bekerja sama. Dengan demikian, siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota lainnya. Dalam hal ini, siswa perlu dibantu dalam mengatasi berbagai hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga setiap siswa dapat memberikan kontribusi untuk keberhasilan kelompok.

2. Prinsip-Prinsip Cooperative Learning

Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Menurut Roger dan David Johnson, tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima prinsip dasar model pembelajaran kooperatif, antara lain[3]:

  1. a.    Prinsip Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)

Karena keberhasilan kelompok sangat bergantung pada kinerja masing-masing anggota kelompok, maka semua anggota kelompok akan merasa saling ketergantungan. Demi terciptanya kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok perlu membagi tugas sesuai dengan kemampuan masing-masing anggota. Inilah hakikat ketergantungan positif, tugas kelompok tidak mungkin terselesaikan jika ada anggota yang tidak bisa menyelesaikan tugasnya, yang kesemuanya memerlukan kerja sama yang baik antar anggota.

 

  1. b.    Tanggung Jawab Perorangan (Individual Accountability)

Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip yang pertama. Dikarenakan keberhasilan kelompok tergantung pada kinerja setiap anggota, maka setiap anggota harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus memberikan yang terbaik bagi keberhasilan kelompoknya, sehingga guru perlu memberikan penilaian terhadap individu juga kelompok.

 

  1. c.    Interaksi Tatap Muka (Face to Face Promotion Interaction)

Pembelajaran kooperatif memberikan ruang dan kesempatan luas pada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga pada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, serta memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing anggota.

 

  1. d.    Partisipasi dan Komunikasi (Participation and Communication)

Pembelajaran kooperatif melatih siswa agar mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Tentunya untuk dapat berpartisipasi dan berkomunikasi, siswa perlu dibekali dengan kemampuan berkomunikasi.

 

  1. Evaluasi Proses Kelompok.

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.

 

2.3 Tahap-Tahap Pembelajaran Cooperative Learning

Dalam penerapan model pembelajaran kooperatif terdapat beberapa tahapan yang harur dilakukan oleh guru, sebagaimana berikut[4]:

  1. a.    Penjelasan Materi

Pada tahap penjelasan materi ini, guru menyampaikan pokok-pokok materi yang akan dibahas dengan tujuan agar siswa mampu memahami pokok bahasan materi pelajaran. Guru akan memberikan gambaran secara umum tentang pokok bahasan yang harus dikuasai oleh siswa. Selanjutnya siswa akan memperdalam sub bahasan dalam pembelajaran per kelompok (tim). Guru dapat menggunakan berbagai media pembelajaran agar proses penyampaian dapat lebih menarik bagi siswa.

 

  1. b.      Belajar dalam Kelompok

Setelah guru menyampaikan materi, siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Pengelompokan sistem cooperative learning bersifat heterogen, artinya kelompok dibentuk berdasarkan perbedaan-perbedaan setiap anggotanya, baik dalam perbedaan gender, agama, sosial-ekonomi, serta perbedaan potensi akademik. Dalam kelompok belajar biasanya terdiri dari satu orang dengan tingkat akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan akademis sedang dan satunya berkemampuan akademis rendah. (Anita Lie, 2005).

Lie juga menjelaskan alasannya dalam pembagian kelompok yang heterogen tersebut. Alasan pertama, kelompok yang heterogen akan memberikan kesempatan untuk saling mengajarkan dan saling mendukung dalam proses pemahaman materi. Alasan kedua, agar terjalin interaksi yang baik antar teman dalam satu kelas tanpa membedakan suku, agama ataupun ras. Melalui model belajar seperti ini juga dapat mendorong siswa untuk saling bertukar informasi dan pendapat mereka masing-masing. Saling mendiskusikan permasalahan bersama serta mencari penyelesaian masalah dan membndingkan jawaban tiap kelompok.

 

  1. c.       Penilaian

Penilaian dapat dilakukan dengan memberikan sebuah tes ataupun kuis. Tes dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa, dilakukan dalam dua tahap. Pertama, tes individual untuk mengetahui kemampuan individu tiap siswa. Kedua, tes kelompok yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan tiap kelompok. Dalam penilaian kelompok, nilai yang didapat masing-masing anggota kelompok adalah sama. Karena nilai tersebut merupakan hasil kerja bersama dalam satu kelompok. Nilai akhir dari setiap siswa adalah nilai yang didapat dari masing-masing tes dijumlahkan kemudian dibagi dua.

 

  1. d.      Pengakuan Tim

Pengakuan tim (team recognition) adalah penetapan tim yang dianggap paling berprestasi. Dengan adanya pengakuan dan pemberian penghargaan ini, diharapkan akan dapat memotivasi kelompok untuk terus berprestasi dan mendorong kelompok lain agar lebih meningkatkan prestasinya.

Tahapan dalam menerapkan pembelajaran kooperatif dapat pula diilustrasikan sebagai berikut[5]:

 

FASE – FASE

TINGKAH LAKU GURU

FASE 1: Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar
FASE 2: Menyajikan informasi Guru menyajikan kepada siswa dengan jalan demontsrasi atau lewat bahan bacaan
FASE 3: Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar Guru menjelaskan kepada siswa begaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efesien
FASE 4: Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
FASE 5: Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
FASE 6: Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai, baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok

 

2.4 Tujuan Pembelajaran Cooperative Learning

Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, dimana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu[6]:

1. Hasil Belajar Akademik

Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan, baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

2. Penerimaan terhadap Perbedaan Individu

Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.

3. Pengembangan Keterampilan Sosial

Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan keterampilan bekerja sama dan kolaborasi kepada siswa. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

2.5 Kelebihan Dan Kelemahan Cooperative Learning[7]

  1. a.    Kelebihan Cooperative Learning
  • Ø Dengan adanya sistem Cooperative Learning, siswa tidak akan selalu bergantung pada gurunya saja, tetapi akan dapat berpikir sendiri untuk memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber, termasuk dari temannya sendiri.
  • Ø Cooperative Learning dapat mengembangkan pola pikir dan kemampuan siswa dalam mengungkapkan setiap ide atau gagasan yang ia peroleh dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain.
  • Ø Cooperative Learning dapat membantu siswa untuk lebih menghargai pendapat orang lain serta menerima segala perbedaan yang mereka hadapi.
  • Ø Cooperative Learning dapat membuat siswa lebih bertanggung jawab dalam belajar.
  • Ø Cooperative Learning merupakan suatu strategi yang dapat meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial dalam hubungan antar personal yang baik dengan sesama teman.
  • Ø Melalui Cooperative Learning diharapkan siswa dapat mengembangkan pola pikirnya dalam memecahkan suatu permasalahan tanpa takut salah dalam pengambilan suatu keputusan, karena keputusan yang diambil merupakan tanggung jawab seluruh anggota kelompok.
  • Ø Cooperative Learning dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi real (nyata).

 

  1. b.      Kelemahan Cooperative Learning
  • Ø Untuk siswa yang dianggap memiliki kelebihan atau keunggulan akademis akan merasa terhambat oleh siswa yang dinilai kurang memiliki kemampuan akademis. Hal tersebut akan mengakibatkan keadaan semacam ini dapat mengganggu iklim kerja sama dalam kelompok.
  • Ø Ciri utama Cooperative Learning adalah siswa saling membelajarkan. Jika tanpa peer teaching yang efektif, maka jika dibandingkan dengan pengajaran dari guru, bisa terjadi cara belajar yang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak pernah dicapai oleh siswa.
  • Ø Penilaian yang diberikan dalam cooperative learning di dasarkan pada hasil kerja kelompok. Dengan demikian, guru perlu menyadari bahwa sebenarnya hasil atau prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap individu.
  • Keberhasilan Cooperative Learning dalam upaya mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup panjang.

 

 

 

2.6 Macam-Macam Model Pembelajaran Cooperative Learning

2.6.1 Model Pembelajaran STAD

a. Pengertian Cooperative Learning STAD

STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana.

Menurut Slavin, dalam model pembelajaran kooperatif model STAD, siswa dikelompokkan dalam kelompok belajar yang beranggotakan empat atau lima orang siswa yang merupakan campuran dari kemampuan akademik yang berbeda, sehingga setiap kelompok terdapat siswa yang berprestasi tinggi, sedang dan rendah.

Pada model STAD siswa dikelompokkan secara heterogen, kemudian siswa yang pandai menjelaskan kepada anggota yang lain sampai mengerti.

Model kooperatif tipe STAD merupakan pendekatan yang menekankan pada aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pembelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.

  1. b.   Karakteristik Cooperative Learning STAD

Di antara karakteristik model pembelajaran STAD, ialah:

  • Menyampaikan materi pelajaran
  • Membagi siswa dalam kelompok kooperatif yang beranggotakan 4 atau 5 siswa
  • Menjelaskan langkah-langkah kerja kelompok
  • Membimbing siswa dalam kerja kelompok
  • Menugasi siswa melaporkan hasil kerja kelompok
  • Membimbing siswa menyimpulkan pembelajaran

 

 

 

  1. c.    Langkah-Langkah Penerapan Teknik STAD

Menurut Slavin (dalam Zainuris, 2007:8) mengemukakan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah:

  1. Guru menyampaikan materi pelajaran
  2. Guru membentuk beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari empat sampai lima orang siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda
  3. Bahan atau materi yang telah dipersiapkan didiskusikan dalam kelompok untuk mencapai kompetensi dasar
  4. Guru memfasilitasi siswa dalam bentuk rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pelajaran yang telah dipelajari
  5. Guru memberikan tes atau kuis  kepada siswa secara individu
  6. Guru memberikan penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai hasil belajar individu dari skor dasar ke skor kuis berikutnya

Nurasma (2006:51) menyatakan bahwa kegiatan pembelajaran model STAD terdiri dari enam langkah yaitu :

  1. Persiapan Pembelajaran
  2. Penyajian Materi
  3. Belajar Kelompok
  4. Tes
  5. Penentuan Skor Peningkatan Individual
  6. Penghargaan Kelompok

 

  1. d.   Kelebihan dan Kelemahan STAD

v Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif STAD

Menurut Davidson (dalam Nurasma, 2006:26), kelebihan model pembelajaran STAD antara lain:

  • Meningkatkan kecakapan individu
  • Meningkatkan kecakapan kelompok
  • Meningkatkan komitmen
  • Menghilangkan prasangka buruk terhadap teman sebaya
  • Tidak bersifat kompetitif
  • Tidak memiliki rasa dendam

v Kelemahan model pembelajaran kooperatif STAD

Menurut Slavin (dalam Nurasma 2006:2007), kekurangan model pembelajaran STAD antara lain:

  • Konstribusi dari siswa berprestasi rendah menjadi kurang
  • Siswa berprestasi tinggi akan mengarah pada kekecewaan karena peran anggota yang pandai lebih dominan.

2.6.2 Model Pembelajaran Jigsaw

a. Pengertian Cooperative Learning Jigsaw

Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diuji cobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di UniversitasTexas, kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4–6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).

Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.

Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

  1. b.   Karakteristik Cooperative Learning Jigsaw

Di antara karakteristik model pembelajaran Jigsaw, ialah:

  • Menyampaikan materi pelajaran
  • Membagi siswa dalam kelompok kooperatif yang beranggotakan 4 atau 5 siswa
  • Menjelaskan langkah-langkah kerja kelompok
  • Membimbing siswa dalam kerja kelompok
  • Menugasi siswa melaporkan hasil kerja kelompok
  • Membimbing siswa menyimpulkan pembelajaran

 

  1. c.    Pengelompokan di dalam Jigsaw

Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat dua kelompok, yaitu:

Kelompok Heterogen (Kelompok Asal)

Yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam serta merupakan gabungan dari beberapa ahli.


Kelebihan:

Memungkinkan “peer instruction” dan pengumpulan pengetahuan, memberikan peserta informasi dari bab-bab yang tidak mereka baca.

 

Kelemahan:

Apabila salah satu peserta tidak membaca tugasnya, informasi tersebut tidak dapat dibagi atau didiskusikan. Potensi untuk pembelajaran yang naratif (bukan interpretatif) dalam berbagai informasi.


 

Kelompok Homogen (Kelompok Ahli)

Yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.

Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam:

  • Belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya
  • Merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula


Kelebihan:

Memungkinkan peserta berbagi perspektif yang berbeda tentang bacaan yang sama, yang secara potensial lebih besar untuk memunculkan proses analisis daripada hanya sekedar narasi sederhana.

Kelemahan:

Menyamakan perspektif yang berbeda tidaklah mudah, karena belum tentu setiap anggota kelompok menyetujui (sepakat) dengan perspektif salah satu atau sebagian anggota kelompok lainnya.

 

 

Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen yang lebih kecil, dengan setiap anggota bertanggung jawab terhadap penguasaan setiap komponen atau subtopik tertentu untuk didiskusikan di dalam kelompok ahli.

Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke kelompok asal sebagai “ahli” dalam subtopik bagiannya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan

  1. d.   Langkah-Langkah Penerapan Teknik Jigsaw

Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut[8]:

  1. Memilih materi pembelajaran yang dapat dibagi menjadi beberapa segmen atau bagian
  2. Membagi siswa menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah segmen yang ada.
  3. Setiap kelompok homogen mendapat tugas membaca, memahami dan mendiskusikan serta membuat ringkasan materi pembelajaran yang berbeda
  4. Setiap kelompok homogen mengirimkan anggotanya ke kelompok heterogen untuk menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompoknya
  5. Mengembalikan suasana kelas seperti semula kemudian tanyakan seandainya ada persoalan yang tidak terpecahkan dalam kelompok
  6. Memberi peserta didik pertanyaan untuk mengecek pemahaman mereka terhadap materi yang dipelajari

 

Versi berbeda tetapi hampir mirip mengenai langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut[9]:

 

  1. Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok dengan heterogenitas anggota
  2. Siswa membentuk kelompok kecil (kelompok ahli) untuk menguasai subtopik tertentu
  3. Kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota yang lain
  4. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok untuk menyamakan persepsi dari materi yang sudah dipelajari
  5. Guru memberikan kuis kepada siswa secara individual.
  6. Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
    1. e.    Kelebihan dan Kelemahan Cooperative Learning Jigsaw

 

v Kelebihan Cooperative Learning Jigsaw[10]

  • Meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain.
  • Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain.
  • Meningkatkan bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan

 

v Kelemahan Cooperative Learning Jigsaw

  • Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan metode jigsaw serta kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran
  • Jumlah siswa yang terlalu banyak mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga hanya sebagian orang saja yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
  • Kurangnya penguasaan materi oleh satu atau sebagian anggota dalam kelompok ahli mengakibatkan penguasaan materi pada kelompok asal yang minim.


[2] Sanjaya, Dr. Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. (Jakarta: Kencana Prenada Media. 2006). Hal 242,

[3] Ibid. hal 244.

[4] Ibid. hal 246.

[5] Nurhasanah, Sarifah. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Pemahaman Peristiwa Proklamasi Indonesia dalam Pelajaran IPS pada Siswa Kelas V SD Negeri 01 Pereng Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010. digilib.uns.ac.id: pustaka.uns.ac.id. (Diakses 01 April 2011).

[6] digilib.unness.ac.id/gsdl/collect/skri. (Diakses 04 April 2011).

[7] Ibid. hal 248.

[8] Ismail. Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PIKEM. (Semarang: RaSAIL Media Group. 2008). Hal 82.