KONSTRUKTIVISME

2.1    PENGERTIAN KONSTRUKTIVISME

Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri.[1] Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.[2] Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupakan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktifan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.

Pendekatan konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah pendidikan dari dominasi guru menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi pengalaman, pengetahuan, dan pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari pembentukan pengertian baru ini.

Menurut para ahli dalam konstruktivisme proses belajar, para siswa di dorong untuk menggali dan menemukan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan gagasan. Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang luas untuk membangun pengetahuan mereka.[3]

 

2.2  TOKOH-TOKOH DALAM KONSTRUKTIVISME

2.2.1     Jean Piaget

Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme.[4] Sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut untuk mengembangkan kemampuan intelektual.

Peaget mengemukakan bahwa ada empat tahap perkembangan intelektual manusia yaitu tahap sensori motor, tahap praoperasi, tahap operasi konkrit, dan tahap operasi formal.[5] Teori kognitif Piaget digunakan sebagai patokan untuk pengembangan intelektual manusia.

 

Empat tahapan  teori perkembangan intelektual piaget:

  1. Tahap sensori motor (0-2 tahun)

Pada tahap ini seorang anak belum bisa mengatakan sesuatu atau hanya bergerak spontan secara jasmani dengan perbuatan mental. Tetapi pada tahap seorang sudak mulai mengerti matematika. Karena seorang anak sudk dapat belajar mengartikan symbol-simbol benda dengan benda kongkrit.

  1. Tahap Praoperasi (2 – 7 tahun)

Tahap ini merupakan tahap persiapan untuk mengorganisasi operasi konkret. Seorang anak hanya berfikir berdasarkan pengalaman kongkret daripada logis. Dan pada tahap ini seorang anak sudah dapat mendentifikai.

  1. Tahap operasi konkret (7- 12 tahun)

Pada tahap ini seorang anak sudah dapat berfikir lebih jauh untuk mengkongkritkan sebuah yang abtrak.[6] Seperti, dari matematika khayalan bisa di kongkritkan dari bendanya atau modelnya. Anak sudakh dapat menyelesaikan soal-soal, seperti 2 +        = 8

  1. Operasi formal (12 tahun – dewasa)

Tahap ini anak sudah menggunakan logika. Anak telah mampu memandang sesuatu dari banyak segi secara simultan, dan mampu menilai tindakannya secara obyektif dan ia dapat menelusuri kembali proses berfikirnya sehingga anak tersebut dapat menggeneralisasikan sesuatu.

2.2.2     Vygotsky

Teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing – masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas – tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.

Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu:

  1. Menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi – strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing – masing zone of proximal development mereka;
  2. Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep – konsep dan pemecahan masalah.

 

2.2.3     Ausubel

Menurut Ausubel, ada dua macam proses belajar yakni belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna berarti informasi baru diasimilasikan dalam struktur pengertian lamanya. Belajar menghafal hanya perlu bila pembelajar mendapatkan fenomena atau informasi yang sama sekali baru dan belum ada hubungannya dalam struktur pengertian lamanya. Dengan cara demikian, pengetahuan pembelajar selalu diperbarui dan dikonstruksikan terus-menerus. Jelaslah bahwa teori belajar bermakna Ausubel bersifat konstruktif karena menekankan proses asimilasi dan asosiasi fenomena, pengalaman, dan fakta baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa sebelumnya.

 

2.3  PENERAPAN  KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Sebenarnya prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah :

  1. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif, pelajar bukan penerima pasif pengetahuan.
  2. Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
  3. Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
  4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
  5. Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
  6. Guru adalah fasilitator yang menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan lancar.

 

Berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka munculah salah pengertian atau konsep alternative. Dalam hal seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan dan mengatasinya.

Dalam pandangan konstruktivisme proses belajar dan pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Siswa terlibat secara aktif dalam belajar
  2. Siswa belajar materi pembelajaran secara memdalam
  3. Siswa belajar dengan lebih efektif
  4. Informasi baru dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu dengan skema yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap materi lebih kompleks terjadi.
  5. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan.
  6. Pembelajaran berorientasi pada pemecahan masalah.

Pembelajaran konstruktivis harus bermakna bagi kongnitif siswa dan guru perlu menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif.

Contoh pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivisme, misalnya mengukur volume limas segiempat :

  1. Guru membagi kelompok-kelompok kecil dari beberapa siswa.
  2. Guru menyuruh para siswa untuk membuat bangun balok dan limas segiempat  yang memiliki panjang, lebar dan tinggi yang sama dari kertas karton serta membawa beras.
  3. Guru memerintahkan untuk memindahkan beras dari limas segiempat kedalam balok.
  4. Kemudian guru menyuruh mempresentasikan hasil percobaan di depan kelas.

 

2.4  PENGARUH  KONSTRUKTIVISME TEHADAP PROSES MENGAJAR

Mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada pendidik yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut : [7]

1)   Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinkan pesera didik ikut bertanggungjawab dalam membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas utama seorang pendidik.

2)       Pendidik menyediakan pertanyaan-pertanyaan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari, membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir peserta didik secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung belajar peserta didik. Pendidik hendaknya menyemangati peserta didik dan bukannya sebaliknya.

3)   Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Pendidik membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik. Tugas pendidik adalah membantu agar peserta didik lebih dapat mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret, maka strategi mengajar perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik.


[1] Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktuvisme Dalam Pendidikan.(Yogyakarta: Kanisius),  hal. 18

[3] Muhammad Asrori. Pskologi Pembelajaran .(Bandung : Wacana Prima : 2007), hal. 28

[4] Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktuvisme Dalam Pendidikan.(Yogyakarta: Kanisius),  hal. 13

[5] Ismail,dkk. 2006. Kapasita Selekta Pembelajaran Matematika. (Jakarta: Universitas Terbuka, 3.3)

[6] Ismail,dkk. 2006. Kapasita Selekta Pembelajaran Matematika. (Jakarta: Universitas Terbuka, 3.6)

[7] Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktuvisme Dalam Pendidikan.(Yogyakarta: Kanisius),  hal. 65-66

Tinggalkan komentar